Thursday, December 28, 2017

Daughter, Love of My Life

Rasa pegal menyerang sebagian punggungku. Tumpukan perkakas diatas meja kerja menuntutku bekerja ekstra hingga larut malam. Rasa lelah kini menggerayangi sekujur persendianku. 
Jam menunjukkan pukul 01:00 dini hari, aku berjalan sempoyongan di sepanjang koridor menuju lahan parkir. Gedung kantor sudah hampir tak berpenghuni. Hanya menyisakan beberapa petugas keamanan dan segelintir pegawai kantor yang lembur.
Tiba di lobby utama. Aku mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk malas menatap ubin lantai. Samar-samar aku menangkap sesosok wanita duduk disalah satu kursi sofa tunggal disana. Dari kejauhan, aku dapat memastikan wanita itu bukan pegawai kantor ini.
Setelah jarak diantara kami dipertipis oleh langkahku. Aku baru tersadar wanita itu nyatanya adalah gadis berpakaian seragam sekolah lengkap. Ia tengah memainkan ponselnya. Terangnya layar ponsel menyinari wajah cantiknya saat minimnya pencahayaan melingkupi seisi lobby.
“Via?” Panggilku dengan menepuk pundak gadis itu. Ya, Valencia Revalita adalah putri semata wayangku. Ia seketika menoleh,
“Papa udah selesai ?” Sambutnya gembira.
Aku menghela nafasku,
“Kamu ngapain kesini?”
“Nungguin Papa pulang.”
“Ini kan udah tengah malem, kenapa kamu gak ngasih tahu Papa kalau kamu kesini?”
“Via gak mau ganggu Papa kerja.” Jawab Via santai. Ia mulai bangkit dari posisi duduknya setelah menyampirkan satu tali tasnya di punggung.
“Dari kapan kamu disini?”
“Papa!! kok aku jadi kayak di introgasi gini. Udah deh, pokoknya Via mau pulang bareng Papa hari ini titik !!.” Katanya menahan kesal.
Ia berjalan beberapa langkah didepanku. Berusaha menghindar dari sekumpulan pertanyaan yang hendak kulontarkan. Ia kemudian terkikik ria tatkala matanya kembali berkutat pada ponselnya.
“ udah makan belum Vi?” Tanyaku yang mengalihkan atensi Via kembali.
“Belum.”
“Belum ?? , ya sudah kita makan diluar malam ini.”
Sementara Via bersorak gembira, aku membuang nafasku dengan menekan-nekan dahiku. Gadis ini benar-benar, ketika dirinya masih kecil ia begitu polos dan menggemaskan. Beranjak remaja seperti ini, Via tumbuh menjadi gadis cantik bertubuh sintal yang sangat ketergantungan pada ayahnya.
Selepas ditinggal ibunya, tepatnya setelah aku dan istriku resmi bercerai. Bukannya menjadi mandiri, gadis ini malah semakin manja terutama padaku. Di usia ke-17nya sekarang. Via bahkan tidak bisa memasak makanan sendiri. Ia memilih menahan lapar selagi aku tak ada dirumah.
Tentu saja itu bukan menjadi salahnya karena separuh waktuku kuhabiskan berada di kantor kecuali hari sabtu dan minggu. Selain itu Via juga enggan tinggal bersama ibunya. Perselingkuhan mantan istriku yang merangkap sebagai ibunda bagi Via telah menggoreskan luka untuk kami berdua.
Bertahun-tahun lamanya kejadian itu kami lewati, Via tetap menyimpan dendam pada ibunya. Ia masih belum bisa memaafkannya meskipun dalam beberapa kesempatan, ibunya acap kali menemuinya untuk menyampaikan permintaan maaf.
Aku ? Ah, Aku sudah melupakan wanita itu.
Jangan keliru bila aku memilih menduda pasca perceraianku itu, aku hanya berpikir kehadiran Via sudah sangat cukup bagiku. Kecantikan Via bahkan jauh melebihi ibunya saat muda dulu. Surai legamnya yang ia biarkan tergerai sebadan itu terlihat sangat menawan, hidungnya mancung dan bibir tipisnya merah merekah. Kulitnya? Ia bak seorang gadis Jepang.
Tiba disalah satu bilik parkir tempat aku memarkirkan mobilku, kami berangsur memasukinya setelah mematikan alarm. Baru saja aku memutar kunci starter mobilku, Via menyahut,
“Wanita itu datang ke sekolahku lagi sore ini.”
DEG.
Aku tahu siapa yang disinggung oleh Via, siapa lagi kalau bukan mantan istriku.
“Apa yang kalian bicarakan?” Kataku yang berusaha bersikap tak acuh semaksimal mungkin. Masa laluku memang sudah tertutup rapat, namun tingkah mantan istriku yang masih membayangi kehidupan putriku tentu saja mengusikku.
“Dia cuma bilang kangen sama Via.”
“Hmm, sesekali kamu harus dateng nengokin mamamu ke rumahnya loh Vi..”
“GAK MAU !!! .” Tolaknya tegas dan cepat.
“Gak boleh gitu. Bagaimanapun juga dia ibu kamu. Pastilah dia kangen sama anaknya.”
“Terus Papa kira kenapa aku pergi ke kantor Papa daripada langsung pulang ke rumah?” Nada Via sekarang sedikit meninggi.
Aku mengerutkan dahiku, menggeleng pelan tak merespon perkataannya. Kebencian benar-benar telah merasuk dalam diri Via. Tak sepantasnya ia membenci ibunya hingga sejauh itu. Tapi aku tak tahu bagaimana cara memudarkannya.
Aku sendiri sungkan membahasnya lebih jauh lagi, itu dapat membuka luka masa laluku.
“Disaat kita lagi susah kemana mama? Kalau Papa lagi maju aja..” Via membanting ponselnya keatas pangkuan, mengeratkan kepalan tangannya diatas rok abu-abunya.
“…” Aku memilih diam tak menanggapi. Omongannya tidak sepenuhnya salah, tapi sebenarnya ia tidak perlu mengaitkan masalah kedua orang tuanya untuk tetap mengasihi ibunya.
Selanjutnya kami tidak banyak mendiskusikan sesuatu. Bahkan ketika kami makan malam di restoran. Ia seolah menghindar dari topik pembicaraan yang kami bahas sebelumnya. Via hanya berkeluh kesah tentang banyaknya tugas yang diberikan gurunya saat ini, wajar saja sebab ia akan menghadapi ujian nasional bulan april nanti.

Malam itu aku merebahkan tubuhku, mataku baru saja terpejam. Tapi secangkir kopi hangat sebelum tidur mencegahku jatuh terlelap. Entah kenapa aku malah meminum minuman berkafein sesaat sebelum tidur.
Beberapa kali aku mengubah posisi tidurku pun, kantuk tetap tak kunjung datang. Namun tak lama kemudian samar-samar aku mendengar pintu kamarku berderit terbuka. Saat kubuka kelopak mataku, aku dapat melihat siluet Via dari ambang pintu. Ia tengah mengenakan piama tipisnya. Ia yang kini hanya berdiri didepan pintu hanya menatapku dalam diam.
“Kenapa Via kok berdiri aja disitu? Ayo sini.. Gak bisa tidur ya gara-gara bentar lagi ujian?” Kataku menerka-nerka. Kutepuk-tepuk kasurku yang sepi penghuni supaya ia mendekat padaku.
Via menggeleng.
Aku jadi semakin heran dengan perilaku anehnya itu.
“Ada apa Vi..? Kamu mimpi buruk ? Ayo sini temenin Papa. Papa juga gak bisa tidur.”
Via kembali menggeleng. Tangannya berpindah tempat. Ia menggigit kuku jarinya seperti menahan sesuatu.
Curiga ada yang tidak beres. Aku bangkit dari posisiku, duduk ditepian ranjang. Memasang muka was-was. Jangan-jangan…
“..Ada pencuri ya diluar?” Tanyaku intens.
“B-Bukan pa….” Jawab Via serak.
“Terus ada apa?”
Mematung tak bergeming, kuputuskan untuk menarik Via dari tempatnya. Aku menarik pergelangan tangannya yang mungil itu dengan gemas lalu memposisikannya duduk disebelahku.
Kuperhatikan sorot mata Via terjatuh dengan lemah, ia mengigit bibirnya. Raut mukanya mengartikan ia tengah dirundung rasa sedih. Apa karena pembahasan tadi?
Wajar jika Via pada akhirnya seperti ini, ia pasti merindukan sosok seorang ibu dalam hidupnya. Salahku juga, setelah mendapat hak asuh atas putriku ini, aku tak cepat mencari pengganti Margaretta, mantan istriku itu. Aku justru betah dengan posisiku sebagai orang tua tunggal.
Tanganku secara refleks membelai surai legam Via penuh kelembutan, kusisir halus rambutnya kebelakang. Sontak Via menyandarkan kepalanya dibahuku. Ia membenamkan kepalanya di kaus putih polos yang kukenakan.
“Papa sayang sama Via ‘kan?” Ia bertanya dengan nada yang sumbang.
“Tentu saja Papa sayang Via, Via itu segalanya buat Papa sekarang.” Tegasku mantap.
Via hanya mengangguk singkat dalam dekapanku. Ia tak membalas lagi. Hanya diam menikmati setiap belaian tanganku dipuncak kepalanya yang kuperlakukan bak mahkota emas. Tapi kemudian aku menyadari ada sesuatu yang ganjil.
Aku mencoba menggerakkan mataku kebawah. Aku terperanjat kaget payudara Via tertempel manis dengan salah satu bagian lenganku. Kurasakan sensasi kenyal yang menyentuh lenganku, apa Via tidak mengenakan dalaman?
Aku mulai bergelayut tidak nyaman. Namun tangan Via dengan cekatan mencegahku.
Menalan ludahku susah payah, akhirnya aku kembali menyuarakan mulutku,
“E-Eh.. Mamamu juga pasti sayang sama kamu, Vi.. Makanya nanti..”
“PA!” Via menarik tubuhnya. Ia menatapku nyalang.
“Ini bukan soal Mama! Aku gak peduli lagi Mama masih sayang aku atau enggak. Aku cuma…”
Via membungkam mulutnya. Bulir-bulir air mata nampaknya sudah tak mampu lagi ia bendung.
“Cuma apa Vi? Bilang sama Papa, Papa gak ngerti kamu ini kenapa.”
Sejenak Via memalingkan mukanya, menyeka garis air mata yang tertetes sedikit lewat celah di kelopak matanya. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya membuang napasnya dengan satu hembusan.
“Kalau Papa mau tahu tutup mata Papa sekarang!”
“Ada apa sih Vi? Kamu kan tinggal bilang sama–,”
“Tutup mata Papa!” Potong Via menuntut.
Akhirnya aku menuruti maunya Via. Kupejamkan mataku. Selama beberapa waktu tidak ada yang terjadi, hanya deru napas Via yang terdengar tak beraturan di telingaku. Sampai tangan Via membentangkan tanganku kesamping secara perlahan.
Dengan satu gerakan singkat, kurasakan sesuatu yang lembut berada dalam genggamanku. Mataku spontan terbuka. Disambut oleh bibir tipis Via yang menyatu dengan bibirku.
Aku berusaha mendorongnya. Tapi Via seolah sudah melatih dirinya untuk melawan pergerakan tubuhku. Bukan hal sulit melepas diriku dari jeratan Via, tenagaku jelas unggul dari tubuhnya yang ramping dan mungil itu. Tapi aku juga tak mau melukainya.
“V..Vi…Via!!” Sebutku disela-sela ciuman ganas Via. Via mengunci mulutku dengan gerakan lidahnya yang liar. Tangannya mengenggam tanganku erat agar meremas-remas buah dadanya yang sekal, lembut sekali payudara Via, ia nampaknya benar-benar tidak mengenakan BH. Sementara tangannya yang lain mendorong tubuhku agar jatuh keatas ranjang kebesaranku.
Via menaikkan satu kakinya keatas pahaku. Dengan kata lain ia kini merangkak diatas tubuhku. Sebelum ia bertindak lebih jauh, aku akhirnya mendorong paksa tubuhnya hingga ia terhempas.
“APA-APAAN ITU?” Kataku murka sembari mengelap bekas-bekas ciuman Via lewat ibu jariku.
Tak kalah denganku, Gigi Via bergemelutuk kesal,
“Papa bilang Papa sayang sama Via!!” Serunya seraya beranjak dari posisi tersungkurnya. Ia hendak mengambil langkah pergi meninggalkanku. Tapi tanganku lebih dulu sigap menahan pergelangan tangannya.
“Via bilang sama Papa, kenapa kamu ngelakuin itu sama Papa?!”
“Kenapa lagi? Karena Via sayang sama Papa!” Desisnya setengah berbisik.
“Sayang?”
“Ya! Via sayang sama Papa, dan ternyata Papa gak sayang sama Via kan?” Wajah Via memerah. Bukan karena amarahnya yang sedang memuncak. Melainkan karena menahan tangisnya agar tidak pecah.
“Papa sayang sama Via! Tapi bukan begitu caranya!”
Segaris air mata tumpah membasahi pipi Via. Kupikir Via takkan berbuat macam-macam lagi. Tapi ternyata aku salah. Via menghentakkan tangannya kasar agar terlepas dari cengkramanku. Ia lantas menarik piyama berkancingnya dengan paksa hingga seluruh butir kancingnya berjatuhan entah kemana.
Dada Via yang bulat dan mempesona seketika menyembul keluar. Bentuknya benar-benar menantang birahi. Tapi bagaimanapun dia anakku! Demi Tuhan! Nafsuku tidak akan terbangkitkan olehnya.
“Kalau Papa sayang buktikan sama Via sekarang!” Via menghampiriku tanpa rasa takut.
“Buktinya…” Aku menggantungkan kalimatku, memikirkan kata-kata yang tepat untuk kusampaikan.
“… Buktinya Papa nyekolahin kamu sampai setinggi ini, buktinya Papa ngasih kamu makan, buktinya terlalu banyak Via! Jangan aneh kamu!”
“Kalau itu Mama juga bisa. Udahlah Pa. Sia-sia Via disini.” Via membalikkan tubuhnya lemas. Ia kembali menghapus jejak-jejak air matanya dan berniat berlalu meninggalkanku. Tapi sekali lagi aku menahannya.
“Mau kamu apa sih Vi?!”
“Lepasin aku Pa.” Isak Via.
“Gak bisa! Kamu ini kenapa mendadak kaya tadi, hah?!”
“Pa, lepasin.”
“Via!!” Aku menarik tubuhnya sekuat tenaga, ia kini kembali berhadapan denganku.
Pandangan nanar Via tertangkap dibola mataku. Sorot mata yang tidak pernah kujumpai setelah perceraianku dengan Margaretta. Via yang kukenal adalah sosok gadis yang selalu berusaha tegar. Ia selalu bersikap keras setiap kali rasa sedih menggerogoti hatinya. Tapi ia kini justru terlihat sangat rapuh.
Apa yang telah kulakukan? Via adalah permata hidupku. Tidak sepantasnya ia dapat perlakuan kasar dariku. Aku membutuhkannya untuk menyosong kehidupanku. Tidak ada dia tidak ada hidup bagiku.
Aku mengepalkan tanganku. Serius, aku akan menyesali ini kelak dikemudian hari.
Kutarik pinggang Via agar merapat padaku. Dengan satu gerakan gesit, bibirku kembali kupertemukan dengan bibir marunnya yang manis. Aku mendekapnya sangat erat. Payudaranya yang sekal dan tak terbalut apapun itu seketika menempel di perut kekarku.
Kulumat-lumat bibirnya tanpa ampun. Via masih tak membalas ciumanku. Air matanya masih terus saja mengalir. Meskipun begitu, ia membiarkanku memperlakukannya sesukaku. Aku meremas-remas buah dadanya yang mempesona.
Tidak pernah terpikirkan olehku aku akan menyentuh benda paling pribadi milik putriku. Kupikir aku akan menjaga tubuh putriku sampai ia resmi menjalin ikatan pernikahan dengan lelaki lain, kenyataannya aku lah yang pertama menyentuh tubuh putriku.
Aku baru sadar, tekstur payudara Via tak ada duanya, lembutnya payudara Via mengalirkan sensasi nikmat luar biasa ke sekujur tubuhku. Ini pertama kalinya sejak beberapa tahun terakhir aku menggerayangi tubuh seorang wanita.
“Ini kan yang kamu mau?” Bisikku menantangnya seraya ku kecup bagian belakang telingaya. Aku merebahkan tubuh Via diatas ranjangku. Via terlentang bebas tanpa penolakan.
Via mengangguk pelan, sorot nanarnya perlahan berubah menjadi sayu ketika kami saling bertukar pandang. Ia mengikat tanganku supaya bertumpu disamping tubuhnya, seakan memberi kesan aku tengah mengurung dirinya.
Aku mencium dahinya, kemudian ciumanku berpindah secara perlahan menelusuri wajah orientalnya. Mulai dari batang hidungnya, pipinya, rahangnya, dan tentu saja bibirnya.
Via yang tak sabaran memindahkan satu tanganku menyentuh payudaranya. Agak risih sebenarnya aku melihat perilaku Via, kenapa dia sebegitu bernafsu ini padaku?
“Tunjukkan rasa sayangmu, Pa..” Bisik Via seduktif menjawab pertanyaan di benakku. Ini gila! Via telah diluar batas! Ia tidak peduli kalau aku baru saja mengasarinya.
“Pa…” Tangan Via terulur menyentuh pipiku. Membelai halus pipiku lewat jari-jari lentiknya.
“Jangan takut. Via bisa kasih semuanya kok..”
Celaka. Karena perkataannya, tanganku yang meremas buah dadanya bergerak tak terkendali. Aku meremasnya dengan mencari kenikmatan yang terpancar darisana.
“Ah.. Ah.. Yah begitu, Pa. Remas payudara Via kuat-kuat, Pa! Kasih tahu Via kalau Papa kangen sama tubuh cewek.” Via menyemangatiku. Wajah lesunya telah berganti menjadi wajah menggoda. Ia menyipitkan matanya dan mengigit bibir bawahnya dengan seksi.
Sial gadis ini benar-benar berjuang membangkitkan birahiku yang telah lama mati. Sebagai balasnya, aku menciumi leher jenjang Via. Kugigit-gigit kecil setiap inci permukaan lehernya yang mulus itu dan meninggalkan beberapa kissmark disana. Tubuh Via mulai menggelinjang kegelian.
“Auuh…, Ouch…” Via tanpa sadar menarik-narik rambut tipisku.
“Terusssh Pa, enakk.. Jangan ke-kecewainh Via..” Desah Via terbata-bata. Lagi-lagi tangannya kembali memohon padaku agar tak lupa meremas dadanya. Ia bahkan meraih kedua tanganku. Aku menarik kepalaku menontoni perbuatannya. Ia meremas-remas kedua buah dadanya sendiri.
Sungguh ini kali pertamanya aku melihat pemandangan seseksi ini. Via, putriku, anak polos yang kini tumbuh menjadi gadis remaja. Tak kusangka ia akan seseksi ini.
Aku tak bisa menahan diri lagi, kuciumi buah dadanya, menghisap rakus pentilnya dan melingkari sekitar payudaranya lewat sentuhan lidahku. Via semakin menggelinjang kenikmatan.
Via masih mengenakan celana piyamanya, celana piyamanya yang longgar tidak menutupi kemontokan pinggang hingga bongkahan pantatnya, kainnya yang bergoyang-goyang saat tubuh Via menggelinjang menambah kesan seksinya dirinya.
“Pa ayo dilanjut, jangan cuma gitu aja!” Via menarik tubuhku dan memutar tubuhnya. Kami bertukar posisi sekarang. Ia menimpa tubuhku, napasnya terdengar memburu. Ia lekas turun menemui selangkanganku. Duduk bersimpuh didepan selangkanganku. Jemarinya mulai nakal membuka resleting celanaku.
Aku buru-buru menutup akses menuju selangkanganku.
“Via tidak sejauh itu! Kamu itu mau apa ?-“
“Sssh.” Sela Via menepis tanganku dan memilih tak mengindahkan perkataanku. Ia membuat semuanya berlangsung cepat. Resleting celanaku dibuka olehnya, tangannya dengan lihai mengeluarkan penisku keluar. Aku takjub melihat keterampilan tangannya meraih penisku tatkala penisku masih terbungkus celana dalam.
Via bak seorang profesional.
“Ya ampun masih tidur, masih kecil begini.” Via terkikik geli. Manis namun menggoda.
Tuhan apa yang telah aku lakukan pada anakku hingga ia jadi begini?
“Vi...Via berhentiii....” Aku mulai kehilangan fokusku. Via tanpa basa-basi lagi melingkarkan tangannya di sekitar batang penisku. Seketika memberikan desiran birahi yang telah lama kulupa. Ia mengocoknya yang mulanya perlahan kemudian mempercepat tempo kocokannya. Demi apapun, bagaimana tangan Via bisa selembut dan sehangat ini? Ahhh
“Dipegang sedikit aja udah setegang ini, Pa. Lihat deh..!” Serunya jahil.
Baru beberapa waktu lalu penisku masih lemas. Sekarang penisku sudah mengacung tegak dengan urat-urat yang menonjol disekitarnya. Aku bahkan terkejut dengan ukuran penisku sendiri. Seingatku tidak sebesar ini sewaktu ereksi. Ada 12-14cmnya kutakar.
“Kenapa kaget, Pa? Udah sepuluh tahun kan gak Papa keluarin…” Via masih mengocok penisku cepat namun dengan sentuhan hangat dan lembut yang memabukkan. Ia diberkati dua tangan dan tidak hanya satu yang bekerja. Sementara tangan kanannya mengocok penisku penuh kelembutan, tangan satunya mulai membelai biji kemaluanku. Via memperhatikan semuanya agar aku meraih kenikmatanku.
“Enak Pa?”
“Be..berrhentiii Vi.. Aghh..”
“Via suka Papa begini..” Ia memamerkan senyum sendunya. Ia memiringkan kepalanya, rambutnya menjuntai jatuh kesamping. Elegan! Via menikmati pemandangan itu, pemandangan dimana aku meraung-raung penuh nikmat walaupun mulutku menolak mengakuinya.
“Vi.. Kenapa..”
Ditanya begitu berulang-ulang seperti kaset rusak. Via menghentikan aksinya. Ia berhenti mengocok penisku, tapi tangannya masih bertautan dengan aset berhargaku itu. Mencondongkan tubuhnya, Via membisikkan sesuatu tepat disamping telingaku.
“Karena aku sayang Papa lebih dari siapapun..”
Aku tertegun mendengarnya. Perkataan yang bagai menusuk sanubariku. Sesuatu yang tidak pernah kuperkirakan akan terucap dari mulut bibir putriku sendiri.
Via kembali terkikik melihat raut keterkejutanku yang seolah tidak ada habisnya terwujud.
“Papa harus dihukum.”
Aku yang sedari tadi memandangi Via dan tak pernah lepas harus memejamkan mataku. Via tiba-tiba membungkukan tubuhnya, ia menjulurkan lidahnya membelai-belai batang penisku. Perlakuan yang ia beri seperti aliran listrik yang menyetrum seluruh saraf kenikmatanku.
Aku tak kuasa lagi menahan gejolak nikmat ini, lolongan kenikmatan mulai tergaung.
Via, Via, Via! ohh !!!
Via memberikan apa yang tidak ibunya berikan kepadaku. Margaretta selalu berkata jijik saat aku memintanya melakukan oral seks. Tapi Tidak dengan Via, ia melakukannya sukarela dan penuh ketelatenan.
Via mencium setiap inci penisku tanpa ada bagian tertinggal. Tangannya masih sibuk bekerja mengocok dan membelai kemaluanku. Saat Tiba dimana bibir manisnya melingkar di kepala penisku. Aku dipaksa memejamkan mataku erat.
“Vi..” Sahutku mengerang.
“Hmmm?” Mulut Via yang tersumpal kepala penisku berdehem. Matanya melirikku sekilas lalu kembali tertawa ringan dalam keadaan penisku yang bersarang dimulut mungilnya. Ia mulai mengemuti penisku lembut dan penuh perhatian. Layaknya kenikmatanku adalah prioritas utamanya.
Penisku yang tengah berada di ukuran maksimal menyulitkannya mengulum batang penisku. Ia hanya dapat mengulum penisku seperempat bagian saja. Hangatnya napas Via menerpa lembut penis hitamku. Gila !!! Aku benar-benar dimanjakan oleh putri kandungku sendiri. Lidahnya terkadang menyentuh lubang kencingku tanpa ada rasa jijik yang nampak di wajahnya.

Ah, aku telah lupa bahwa yang tengah memberikan kenikmatan ini ada lah putriku sendiri, ya putri kandungku !!

Penisku berkedut-kedut nikmat. Sesekali terangguk-angguk ketika lepas dari cengkraman bibir Via. Via bahagia sekali melihatku begini. Sampai dipuncak kenikmatanku, Via semakin mempercepat tempo kocokan tangannya, ia menyedot penisku kuat-kuat.
Desahan meluncur keluar berbarengan dengan semprotan lahar panas dan kental milikku membasahi rongga mulut Via. Pipi Via mengembung penuh. 10 Tahun lamanya aku tak mengeluarkan maniku, aku bisa membayangkan betapa banyaknya air mani yang kusemprot di mulut Via. Beberapa menetes lewat celah dibibirnya. Jatuh kedagu lalu ke piyamanya.
Via mendesah lega seolah ikut merasa nikmat setelah ia telan seluruh spermaku. Ia melakukannya dan disaksikan oleh kedua bola mataku. Ia juga menjilati air mani yang tercecer di sprei kasur setelah merunduk.
“Tugasku sudah selesai.” Katanya riang. Setelah memberi satu kecupan singkat di dahiku,
“Selamat tidur Papa, mimpi yang indah ya..” Via kemudian bangkit dan membawa piyamanya keluar, ia kini benar-benar meninggalkanku sendiri di kamar .
Apa yang telah kulakukan?

Astaga !!!?
Apa-apaan itu tadi?

Apakah ini hanya mimpi ???



BERSAMBUNG

Monday, October 23, 2017

Bersama Calon Besan


Kejadian ini berlangsung beberapa bulan yang lalu ketika anakku melangsungkan pesta pernikahannya di kota kecil Pr di Jawa Timur yaitu di tempat calon mertuanya bernama Pak Har (60 Thn) dan Bu Har (46 thn) yang masih menjadi kepala Desa. Aku dan istriku sebetulnya tidak setuju kalau anakku yang baru saja lulus dari salah satu universitas di Jawa Tengah harus segera kawin dengan pacarnya yang sama2 baru lulus.
Rencanaku biar anakku dapat kerja yang mapan dahulu sebelum kawin, tetapi Pak Har dan Istrinya terus mendesak agar mereka berdua cepat cepat di kawinkan agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan dan Bu Har sudah ingin menimang cucu, katanya. Tetapi karena anakku setuju dengan permintaan keluarga yang perempuan, ya sebagai orang tua tidak bisa berbuat lain selain merestuinya.
Tiga hari sebelum hari pernikahannya, aku dan istriku sudah berada di kota Pr. dan disambut dirumahnya dengan hangat oleh calon besanku Pak Har dan bu Har serta keluarganya. Aku dan istriku benar2 dibuat surprise dan tidak terbayangkan sebelumnya, orang2 yang ada di rumah itu begitu hormat kepada keluarga Pak Har dan yang lebih mengherankan lagi, rumahnya begitu besar dikelilingi tanaman buah2an dan ada pendoponya yang luas serta di salah satu sisinya ada seperangkat gamelan jawa. Bagaimana tidak heran, jabatan Pak Har hanyalah kepala desa yang tidak menerima gaji, tetapi hanya menerima tanah bengkok selama dia menjabat.
Yang membuatku lebih terpesona adalah Bu Har calon besanku perempuan, walaupun usianya sudah tidak muda lagi, tetapi dengan tubuh yang semampai tidak terlalu tinggi serta kain kebaya yang dipakainya serasi dengan warna kulitnya yang putih bersih dan kuperhatikan Bu Har terlihat sangat anggun, apalagi sisa2 kecantikan diwaktu mudanya masih terlihat, sehingga membuatku terpesona dan tidak ingin melepas memandangnya dan kadang2 aku harus mencuri curi pandang, agar istriku tidak mengetahuinya apabila aku memandangnya soalnya kalau sampai ketahuan, bisa2 terjadi perang besar.
Bu Har bukannya tidak tahu kalau sering kupandangi dengan penuh kekaguman dan ketika beberapa kali bertemu pandang, kuperhatikan dia selalu tersenyum sehingga terlihat giginya yang putih dan rata.
Hari pertama kedatanganku di kota ini, setelah makan siang bersama calon besanku, Bu Har lalu disuruh suaminya menghantarkan aku dan istriku untuk beristirahat di rumah sebelah… “Buuuu….. sana antar calon besan kita untuk istirahat di tempat yang sudah kita siapkan”, kata Pak Har dan sesampainya di rumah sebelah yang masih satu halaman dengan rumah induk, tenyata rumahnya pun cukup besar dan kamar yang disediakan untukku dan istriku pun sangat besar walaupun tidak ada kamar mandi didalamnya.
Setelah menunjukkan tempat2 yang dianggap perlu termasuk kamar mandi yang agak jauh dibelakang, lalu bu Har pamit untuk kerumah sebelah. “Terima kasih… mbaaak… atas semuanya, kataku sambil menjabat tangannya dan jabatan itu tidak kulepas dengan segera dan Bu Har pun tetap tidak menarik tangannya dan kembali kulihat senyumannya yang manis, sambil tiba2 menarik tangannya setelah mungkin merasa tangannya kujabat terlalu lama dan terus meninggalkanku kembali ke rumah sebelah.
Sore harinya ketika aku dan istriku sedang duduk di teras, kulihat Pak Har dan istrinya muncul dari belakang lalu duduk ngobrol menemani kami berdua dan tidak lama kemudian datang dua wanita dengan membawa pisang goreng serta teh panas. Setelah ngobrol kesana kemari membicarakan acara untuk pernikahan, Bu Har segera pamit kebelakang entah untuk apa, sehingga obrolan dilanjutkan oleh kami bertiga saja.
Karena tadi aku terlalu banyak minum air, terasa aku ingin buang air kecil dan setelah permisi kepada pak Har untuk kebelakang sebentar lalu aku beranjak kebelakang menuju kamar mandi yang tadi ditunjukkan oleh bu Har, karena sudah begitu kebelet untuk kencing lalu sambil menurunkan resleting celanaku serta mengeluarkan meriamku, kudorong pintu kamar mandi dengan bahuku dan terus masuk kamar mandi, tetapi alangkah kagetnya ketika didalam kamar mandi itu kulihat bu Har sedang berada di kamar mandi serta telanjang bulat seraya menggosok gosok badan dengan tangannya.
Kulihat bu Har pun begitu terkejut ketika mengetahui ada orang masuk kekamar mandi dan secara reflek bu Har berteriak kecil….. “maaaaaaas,” sambil berusaha menutupi badannya dengan kedua tangannya.
Setelah pintu kamar mandi kudorong tertutup, kudekati dia sambil kupegang kedua bahunya serta kukatakan dengan suara sedikit berbisik karena takut ada yang mendengar…. “mbaaaak…… maaa’aaaaaf….. saya tidak tahu kalau… embak lagi mandi……” “Sudah… laaaah,” sahut bu Har juga sedikit berbisik…. sana… keluar…… nanti ada yang lihat….. lagian mau apa siiiih… maaaas…?” “Saya… kebelet kencing… mbaaaak…,” sahutku dan disambutnya dengan kata2….. “cepaaat….. kencingnya….. dan cepat keluar…..”
Tanpa komentar lagi aku keluarkan meriamku yang setengah berdiri karena melihat tetek dan vagina bu Har yang ditumbuhi bulu jembut yang hitam lebat dan aku terus kencing dengan posisi menyamping dan sambil kulirik, kulihat mata mbak Har sepertinya sedang tertuju kearah meriamku.
Setelah selesai menyelesaikan kencingku dan kumasukkan meriamku kembali kedalam celana, sambil beranjak keluar pintu kamar mandi kusempatkan tangan kananku mencolek teteknya yang tertutup setengah oleh tangannya sambil kuucapkan….. “mbaaaak….. maaaa’aaaaf….. yaaaaa…” dan bu Har secara reflek menampar tanganku seraya berkata setengah berbisik …… “kurang…. ajaaaar….. awas…. nanti.”
Aku segera kembali ke depan dan kulihat istriku dan Pak Har masih ada sambil ngobrol dan aku kembali duduk seolah olah tidak terjadi apa apa, tetapi istriku tiba2 nyeletuk… “Paaak….. buang air kecil saja…. bajunya sampai basah semua……,” aku tidak menanggapi kata2 istriku itu dan kucoba menenangkan diri sambil kuambil minumanku di gelas.
Setelah beberapa saat kami meneruskan obrolan, Bu Har datang dari arah belakang dan sekarang sudah tidak memakai setelan kebaya lagi tetapi memakai rok terusan, walaupun begitu tetap saja membuatku terpesona apalagi bentuk kakinya yang kecil dam putih mulus, setelah dekat dengan kami bertiga serta duduk disalah satu kursi yang kosong, lalu berkata …. “buuu… paaaaaak…..,” seraya menengokku dan Istriku bergantian…. “silahkan mandi dulu biar terasa segar sebelum kita makan…..” dan setelah itu bu Har menggeser kursi nya sedikit membelakangiku. Tidak berlama lama, aku langsung ke kamar mengambil pakaian ganti dan langsung pergi ke kamar mandi.
Sengaja kamar mandinya tidak kukunci dengan harapan siapa tahu bu Har pun berbuat yang sama seperti tadi, tapi… kupikir mana mungkin… jadi segera saja kubuang jauh jauh pikiran itu dan sambil mandi kubayangkan tubuhnya bu Har yang walau sudah berumur dan teteknya yang terlihat sedikit karena tertutup tangannya tidak begitu besar kira2 36D serta sudah agak turun dan vaginanya yang tertutup tangan satunya juga mempunyai bulu jembutnya yang lebat tetapi menurutku masih cukup mempersonaku, sehingga meriamku menjadi bangun dan menjadi lebih tegang ketika batangnya kugosok gosok dengan sabun.
Sampai mandiku selesai, ternyata harapanku tinggal harapan saja….. dasar pikiran bejat. Ketika kembali ke depan ternyata kedua calon besanku serta istriku masih asyik ngobrol dan sambil duduk kembali aku langsung nyuruh Istriku untuk gantian mandi.
Malam harinya sewaktu makan ber empat diruang makan, entah kebetulan atau karena Istriku dan Pak Har telah duduk berhadapan terlebih dahulu, sehingga mau tak mau aku dan bu Har jadi duduk berhadapan. Ketika sedang enak2nya makan, tiba2 kakiku tersentuh kakinya bu Har dan anggapanku mungkin tidak sengaja sewaktu menggeser kakinya, apalagi ketika kulihat wajahnya bu Har tetap biasa saja seperti tidak terjadi sesuatu dan meneruskan makannya dengan agak menunduk.
Untuk membuktikannya, sambil melepas sendal yang kupakai dan kulirik dimana posisi kaki bu Har di kolong meja, lalu pelan pelan kuletakkan kakiku diatas kakinya yang memakai sendal jepit sambil kupandang wajahnya. Kulihat bu Har tidak bereaksi dan tetap saja meneruskan makannya serta kakinya yang kuinjak itu didiamkannya saja, dan pelan pelan injakanku itu kuberi tenaga sedikit dan terasa bu Har secara perlahan lahan menarik kakinya.
Aku diamkan saja kakiku ditempatnya seolah olah aku menginjaknya secara tidak sengaja, tetapi beberapa saat kemudian terasa kakiku di injak oleh kakinya yang sudah tidak memakai sendalnya lagi, jadi aku mengambil kesimpulan kalau tendangan kaki bu Har tadi itu pasti disengajanya.
Aku diamkan saja injakkan kakinya dan tidak lama kemudian telapak kakinya di geser2kan di atas kakiku dan tentu saja hal ini tidak kubiarkan, jadi sambil tetap meneruskan makan kaki kami terus bermain dikolong meja makan dan lama2 jadi bosan juga.
Lalu kutarik kaki kananku yang diijaknya menjauh dari kaki bu Har dan sambil mengambil gorengan tahu yang agak jauh dari jangkauanku, kugeser kursiku maju kedepan merapat di meja makan dan pelan pelan kuangkat kaki kananku agar tidak ada kecurigaan dari istriku dan Pak Har serta kuselonjorkan kedepan, maksudku untuk kuletakkan dikursi diantara kedua paha bu Har, eh…… tidak tahunya terantuk salah satu dengkul bu Har dan kulihat bu Har agak terkejut sehingga garpu yang dipegangnya terjatuh diatas piringnya dan semua mata tertuju kearah bu Har dan Pak Har berkomentar…. “buuuuu…. makannya jangan buru buru…. bikin malu calon besan sajaaaaa…..,” dan kesempatan ini kugunakan untuk menggeser kakiku dan kuletakkan di ujung kursinya sehingga telapak kakiku terasa hangat terjepit diantara kedua pahanya dan secara perlahan lahan kuelus elus salah satu pahanya dengan telapak kakiku dan bu Har kulihat memandangku sejenak dengan matanya sedikit melotot dan kembali meneruskan makannya.
Aku mencoba menjulurkan kakiku lebih dalam lagi agar dapat mencapai pangkal paha bu Har, tetapi tetap saja kakiku tidak dapat mencapainya, karena kursi yang diduduki bu Har agak renggang dari meja makan dan aku mencari akal bagaimana kakiku bisa menyentuh vagina bu Har.
Ketika aku sedang memutar otakku, eh tidak tahunya bu Har menggeser tempat duduknya maju kedepan mendekati meja makan ketika akan mengambil buah2an setelah makannya selesai dan kesempatan ini tidak kusia siakan, dengan hanya mengulurkan kakiku sedikit tersentuhlah pangkal pahanya yang terasa sangat halus dan membuat bu Har agak terkejut sedikit tetapi setelah itu diam saja.
Lalu kugesek gesekkan jari kakiku ke vaginanya yang terasa tertutup dengan celana dalamnya dan sesekali kuperhatikan mata bu Har tertutup agak lama yang mungkin sedang menikmati enaknya gesekan jari kakiku di vaginanya, tapi untung istriku dan Pak Har tidak memperhatikannya karena sedang sibuk dengan buah2an yang dimakannya. Gesekan kakiku terus kulanjutkan sambil ngobrol berempat setelah buah2an yang kami makan habis.
Ketika Pak Har sedang bertanya sesuatu kepadaku, tanpa sadar sebelum pertanyaannya kujawab, aku berseru…. “aduuuh…..,” sehingga istriku dan kedua calon besanku melihat kearahku dan istriku langsung bertanya… “kenapa….paaah…?” untuk tidak menimbulkan kecurigaan langsung saja kujawab….. “kekenyangan….. dan perutku agak sakit tergencet ikat pinggang…,” kataku sekenanya sambil kulonggarkan ikat pinggangku…. “habis… makanan calon besan kita terlalu enak sih…..” tambahku sedikit memuji, padahal aku berseru aduh tadi itu karena kaget ketika kakiku tiba2 dicubit oleh tangan bu Har yang tanpa setahuku di taruh nya kebawah meja.
Aku cepat2 menarik kakiku dan menurunkannya ketika Pak Har tiba2 bangkit dari duduknya dan mengajakku dan istriku kembali ke teras rumahnya.
Esok harinya, aku dan istriku merencanakan pergi kekota Mlg. yang jaraknya hanya kira2 2 jam perjalanan dengan mobil untuk menjemput anakku yang nomer 2 dan yang sedang kuliah disana agar bisa mengikuti acara pernikahan kakaknya, tetapi entah karena makanku terlalu banyak atau karena tadi malam ngobrolnya sampai larut malam dan hawa kota kecil Pr. yang agak dingin, perutku terasa sakit atau seperti masuk angin sehingga beberapa kali aku harus ke belakang. Sehingga pagi harinya aku minta istriku saja yang menjemput anakku dengan sopir.
Setelah istriku berangkat, tidak lama kemudian Pak Har dan istrinya muncul dikamarku serta menanyakan kondisiku. “Paaak…. kata ibu lagi sakit perut yaaaa… ma’af…. mungkin ada makanan yang tidak cocok dengan perut bapak….. yaaa,” kata Pak Har dengan penuh rasa khawatir sedang istrinya hanya diam saja disampingnya.
“Oooh…. bukan sakit peruuut… kok… paaak,” sahutku sambil kutinggikan bantalku sehingga posisi tidurku setengah duduk…. “cuma.. masuk angin sedikit…. kayaknya…. sebentar lagi juga sembuh,” sahutku seraya kupandangi keduanya bergantian. “Apa bapak biasa minum obat tolak angin…. biar saya ambilkan..yaaa…,” kata bu Har. “Aaahhh… nggak usah lah buu…., tadi sudah dipijitin sedikit oleh istri saya….. biasanya sih dikerokin…. tetapi karena takut ke Mlg nya kesiangan….. jadi kerokannya nggak jadi…,” sahutku. “Lho… paaaak… kalau biasa kerokan… biar istri saya saja yang ngerokin… dia itu ahlinya… saya kalau masuk angin… paling cepat dikerokin lalu dipijitnya… langsung sembuh,” sahut Pak Har… “iyaaa.. buuu… tolong dikerokin saja dan setelah itu baru minum obat tolak angin…. soalnya kalau dibiarkan bisa kasep nanti…. apalagi besok adalah acara resmi perkawinannya… ayooo.. sana buuuu… ambil alat kerokannya,” tambah Pak Har dan segera saja bu Har pergi meninggalkan kamarku.
Tidak lama kemudian bu Har mencul kembali dan dikedua tangannya telah membawa alat kerokan dan segelas air minum serta obat tolak angin dan sambil meletakkan barang bawaannya di meja, bu Har mengatakan.. “paaakk…. lebih baik kaosnya dibuka saja…,” katanya dan pak Har yang masih menemaniku di kamar terus menimpalinya…. “betuuul.. paaaak…., ooooh… iyaaa.. buuuu,” kata Pak Har pada istrinya….. “saya tinggal dulu ya sebentar ke kantor KUA untuk menyelesaikan administrasi nya buat besok dan mungkin ke beberapa teman yang undangannya belum kita berikan.
” “Jangan.. lama2 lho.. paaaak…. masih banyak yang belum beres.. lhoo..,” sahut bu Har sambil keluar pintu kamarku menghantar suaminya pergi. Tidak lama kemudian bu Har muncul kembali sambil menutup pintu kamar…. “lhoooo… maaas… kok kaosnya belum dibukaaaa…..?” katanya ketika melihatku masih tiduran dan belum membuka kaosku, “…… isiiiiiin ….. mbaaaak,” sahutku sambil duduk dipinggir tempat tidur.
“Wong wis podo tuwek e kok….. pake isin segala…. wis to… bukaen kaose….,” kata bu Har dengan logat jawa timurnya. Tanpa disuruh kedua kalinya, segera kubuka kaos yang kupakai dan terus duduk membelakanginya sambil menunggu kedatangannya dari menutup pintu kamar.
Sesampainya dia dibelakangku dan duduk menghadap punggungku tiba2 saja bu Har mencubit pinggangku kuat2 sambil berkata… “maaaas….. kowe wih tuo… kok kurang ajar… tenan… siiiih…..,” karena cubitannya yang agak kuat dan tanpa kuketahui menjadikanku kaget dan berteriak….. “aduuuuh……” sambil kuputar badanku sehingga kami sudah duduk berhadapan dan kuambil barang2 kecil ditangannya serta kutaruh diatas kasur serta kupegang kedua bahunya seraya kukatakan….. “mbaaaaaak…… kowe sing marai aku dadi kurang ajar…. lha.. wong kowe….. sing membuatku jadi kesengsem…..” dan kemudian kupeluk rapat rapat sehingga terasa tetek nya yang tidak besar itu mengganjal didadaku serta kucium bibirnya dan bu Har pun memelukku serta mengusap usapkan kedua tangannya di punggungku yang sudah telanjang.
Kujulurkan lidahku kedalam mulutnya dan terasa di sedot sedotnya dengan keras dan nafas kami berduapun sudah semakin terdengar keras.
Sambil kuangkat badannya sedikit agar bagian roknya yang diduduki terbebas, lalu kuangkat rok terusannya keatas dan kususupkan tangan kananku kedalam serta kupegang teteknya dari luar Bhnya dan terasa sekali teteknya begitu empuk dan diantara ciuman kudengar bu Har berkata….
“ssssshhhh….. maaaaas…… ojo… nakaaaaal….. too…” sambil tangan kanannya menggerayangi penisku dari luar celana yang kupakai dan langsung saja kulepas ciumanku dan kuangkat roknya keatas dan kupelas melalui kepalanya dan yang kudengar dari mulutnya hanyalah suara sedikit manja…
“maaaaaas ….. ojo.. nakaaaaal… toooooo,” tetapi tanpa ada penolakan sama sekali, malahan membantuku melepas roknya dengan mengangkat kedua tangannya keatas dan setelah roknya terlepas, kulihat badan bu Mar yang begitu mulus mengenakan Bh hitam yang tipis tanpa ada busa yang mengganjalnya dan Cd.nya juga berwarna hitam. Tanpa basa basi, langsung saja bu Har kurangkul dan kurobah posisinya serta kuterlentangkan diatas tempat tidur dan bu Har hanya protes
“…maaaaas…… apa apaan…. siiiiih….. katanya mau di kerokin…. kok jadi beginiiiii……” dan sambil mencari kaitan Bh dibelakang tubuhnya, kujawab saja “sekenanya…. mbaaaak….. aku sudah sembuh…. masuh anginnya… sudah hilang sendiri…..”
Setelah kaitan Bhnya terlepas, langsung saja bh nya kubuka dan kujilat teteknya serta kusedot sedot puting susunya yang hitam dan besar dan kurasakan bu Har mencoba memasukkan tangan kanannya kedalam celanaku mencari cari penisku tetapi karena celanaku agak sempit sehingga bu Har kesulitan memasukkan tangannya dan langsung saja dia berkata..
“maaaaas…… buka en celanamu…… aku yoo.. kepingin.. nyekel duwek mu” dan tanpa melepas puting teteknya yang masih kusedot, kulepas celana dan celana dalamku sekaligus, sehingga ku sekarang sudah telanjang bulat dan penisku yang setengah berdiri itu langsung saja dipegangnya dan segera saja dia berkomentar… “maaaas….. kok masih…. lembek……?”
“Coba saja di isap…… pasti sebentar saja… sudah tegang….. mau…?” tanyaku sambil kupandangi wajahnya dan kulihat bu Har hanya mengangguk sedikit tanpa jawaban. Segera saja kulepas isapan mulutku di teteknya dan bangun serta duduk didekat kepalanya sambil sedikit kumiringkan badannya kearahku dan dengan tidak sabaran langsung saja batang penisku yang masih setengah berdiri dipegangnya dan kepalanya di jilat jilatnya sebentar dan langsung dimasukkan kedalam mulutnya.
Sambil memutar badannya setengah tengkurap, bu Har segera saja memaju mundurkan kepalanya sehingga penisku keluar masuk terasa enak sekali sehingga tanpa terasa aku jadi mendesah “..aaaaaah……. ooooh… mbaaaak…. teruuuus…. ooooh….. enaaaaknyaa… mbaaak.. oooohh” sambil kuusap usap rambut dikepalanya dan sesekali kujambak dan baru sebentar saja bu Har menghisap penisku, terasa penisku sudah tegang sekali.
Tiba2 saja penisku dikeluarkan dari mulutnya dan langsung saja kukatakan… “mbaaaak…. isap… lagiiiiii… dooong,” tetapi kudengar bu Har berkata….. “maaaas….. tolong… punyaaa… saya… jugaa.”
Aku langsung mengerti apa yang dimaui bu Har dan langsung saja aku merubah posisi dan kujatuhkan diriku tiduran kedekat kaki bu Har dan kutarik celana dalamnya turun serta kulepas dari badannya.
Tiba2 saja bu Har bergerak dan berganti posisi tidur diatas badanku sehingga vaginanya tepat berada di mulutku dan tercium bau vagina yang sangat khas, maka tanpa bersusah payah kusibak bulu jembutnya yang menutupi bibir vaginanya dan setelah itu kubuka bibir vaginanya dengan kedua jari tanganku dan kujulurkan lidahku menusuk kedalam vaginanya yang sudah basah oleh cairannya dan terasa asin.
Ketika ujung lidahku menyodok lubang vaginanya, langsung saja bu Har menekan pantatnya ke wajahku sehingga terasa sulit bernafas dan terasa penisku sedang di kocok2nya dengan jari tangannya.
Ketika lidahku menjelajahi seluruh bagian vaginanya dan bibir vaginanya tetap kupegangi, bu Har lalu menaik turunkan pantatnya dengan cepat dan mungkin karena merasa keenakan dijilatin vaginanya, terdengar desahannya yang agak keras….
“oooooh… maaaaas…. oooohh…. aaaaaahh….. teruuuus….. uuuuuhh…. maaaas… aduuuuh…. enaaaak…. maaaas… oooh…..” dan sesekali itilnya yang sedikit menonjol itu dan sudah mulai mengeras, kuhisap hisap dengan mulutku sehingga desahan demi desahan keluar dari mulutnya…. “ooooooh…. ituuuu.. maaaaas…. enaaaaaak….. uuuuuh…… ooooh … maaaaaas” dan tiba2 saja pegangan dipenisku dilepaskannya dan bu Har menjatuhkan dirinya dari atas tubuhku dan tidur terlentang sambil memanggilku…
“maaaas….. maaaaas… siniiiii…. saya sudah… nggak tahaaaaan…. ayooo….. sini… maaaas.” Aku segera saja bangun dan membalik badanku serta kunaiki tubuh bu Har dan dia ketika tubuhku sudah berada di atasnya, dia membuka kakinya lebar lebar dan kutempatkan kakiku diantara kedua kakinya. Dengan nafas terengah engah dan mencoba memegang penisku dia berkata….
“maaaaas….. cepat.. doooong….. masukin….. saya sudah.. nggaaak tahaaaaan….” “Tunggu…. sayaaaang……, biar aku saja yang masukin sendiri….,” kataku sambil kupindahkan keatas, tangannya yang tadi mencoba memegang penisku tetapi rupanya bu Har sudah tidak sabaran lalu kembali dia berkata….
“maaaaas….. ayooooo… doooong… cepetaaaan….. dimasukiiiiiin… punyamu ituuuuuu…..” dan dengan hati2 kupegang penisku dan kugesek gesekkan di belahan bibir vaginanya beberapa kali dan kemudian kutekan kedalam serta…… bleeeeeeeeees….. terasa dengan mudahnya penisku masuk kedalam lubang veginanya dan seperti terkaget kudengar bu Har berteriak kecil bersamaan dengan penisku masuk kelobangnya….. “aduuuuuuh…… maaaaaas,” sambil mendekapku erat2.
“Sakit……. sayaaaang…..,” tanyaku dan bu Har kulihat hanya menggelengkan kepalanya sedikit dan ketika dia menciumi disekitar telingaku kudengar dia malah berbisik…… “enaaak…..maaaas….”
Kuciumi wajahnya dan sesekali ku hisak bibirnya sambil kumulai menggerakkan pantatku naik turun pelan2, tetapi tiba2 saja punggungku dicengkeramnya agak keras seraya berkata… “maaaaas…… coba diamkan dulu pantatmu ituuu…..” dan aku nggak mengerti apa maunya tetapi tanpa banyak pertanyaan kuturuti saja permintaannya.
Eeehhh….. nggak tahu nya, bu Har sedang mempermainkan otot otot vaginanya, sehingga pelan2 terasa penisku seperti di pijat pijat serta tersedot sedot dan jepitan serta sedotannya semakin lama semakin kencang sehingga penisku terasa begitu enak dan tanpa terasa aku menjadi terlena keenakan……
“oooooohh… sssssshh….. mbaaaaak……. enaknyaaaaaa….. oooooh…. aaaakkrrrrsssss…. oooooh….. teruuuuus… mbaaaaaak… aduuuuuh… enaaaaak” dan aku sudah tidak dapat tinggal diam saja, langsung pantatku naik turun sehingga penisku keluar masuk lobang veginanya serta terdengar bunyi…
crreeeettt…… crrreeeet….. creeeeett…. secara beraturan sesuai dengan gerakan penisku keluar masuh vaginanya yang sudah sangat basah dan becek. “Maaaas…… cabut dulu punyamu itu….. biar aku lap dulu…. punyaku sebentar….,” kata bu Har setelah mungkin mendengar bunyi itu,
“biar… aja…. mbaaaaak….. enak begini… kooook,” sahutku sambil meneruskan gerakan penisku naik turun semakin cepat dan bu Har kurasa tidak memperhatikan jawabanku karena sewaktu aku menjawab pertanyaannya, kudengar dia sudah mengeluarkan desahannya…..
“oooooooh…… ssssssshhh…… aaaaaaaakkkkkk….. aduuuuuh… maaaaas…. teruuuuuskaaaan….. teruuuus… maaaaas…. oooooh…..,”
sambil mempercepat goyangan pinggulnya serta kedua tangannya yang dipunggungku selalu menekan nekan disertai sesekali menyempitkan lobang vaginanya sehingga terasa penisku terjepit jepit dan
“ooooh….. mbaaaaak….. ssssssshhhh….. ooooohhh…. enaaaaak.. mbaaaaak….. akuuuu… wis.. kate… metuuuu… mbaaaak….,”
desahanku yang sudah tidak kuat lagi menahan keluarnya airmaniku…..
“Maaaaas….. ayoooooo…. maaaas… aduuuuuh….. oooooh…… akuuu… jugaaa…… ayooooo… sekaraaaaaaang……. aaaaaaaakkkkrrrrrr.. ooooooooh…… maaaaaaaaaas”
dan kulepas air maniku semuanya kedalam vaginanya sambil kutekan penisku kuat2 dan bu Har pun mendekapku dengan sekuat tenaganya.
Aku terkapar diatas badan bu Har dengan nafas ngos ngosan demikian juga kudengar bunyi nafasnya yang sangat cepat seraya menciumi wajahku. Setelah nafas kami mulai mereda, lalu kukatakan…
“mbaaaaak…. wis yooooo….. tak cabut..” dan sebelum aku menhabiskan perkataanku, dicengkeramnya punggungku dengan kedua tangannya seraya mengatakan……
“jangaaan… duluuu.. maaaaas…… aku masih ingin…. punyamu ngganjel didalam……” dan setelah diam sebentar lalu katanya lagi….
“maaaas…… aku sudah lama… nggak begini…… bapak sudah nggak mau lagi….. padahal aku masih kepingin….”
Para pembaca sekalian, itulah kisahku dan setelah kami masih sesekali melakukannya yaitu ketika bu Har datang ke Jakarta dengan alasan kangen dengan anak perempuannya yang kawin dengan anakku. Biasanya bu Har menelponku dikantor apabila akan datang ke Jakarta dan kujemput dia di Gambir dan langsung pergi ke salah satu Hotel, sebelum dia menuju rumah anaknya.. eh… anakku juga.